Kalau ada yang pernah membaca serial "Api di Bukit Menoreh" pasti tidak asing lagi dengan salah satu tokoh utamanya "Agung Sedayu". Seorang pemuda berilmu tinggi yang sederhana dilatar belakangi awal berdirinya kerajaan Mataram. Entah mengapa, dari awal membaca serial itu, saya sudah merasa jatuh hati padanya, padahal banyak tokoh lain yang bisa membuat jatuh cinta.
Seorang pemuda tangguh yang pada masa kecil sampai remajanya begitu terlindungi, sampai-sampai dia bahkan tidak mampu membela dirinya sendiri ketika dalam keadaan bahaya. Tapi pada akhirnya dia mengalami titik balik dan berhasil mengalahkan rasa takutnya, hanya karena lengannya tergores anak panah saat pertandingan memanah. Sifat dasarnya yang rendah hati membuat dia tidak pernah melayani tantangan bertarung dari lawan-lawannya, namun itu justru malah menjebak dia ke dalam pertarungan yang lebih besar karena lawannya merasa terlecehkan.
Sudah beberapa tahun yang lalu saya membaca serial ini, namun minggu ini ada beberapa kejadian yang membuat saya merindukan kembali "Agung Sedayu". Dari mulai kisah dari pulau Halmahera di ujung negeri tercinta ini. Sampai kejadian tadi pagi Mas Abi yang kelingkingnya terluka karena tidak sengaja masuk ke dalam kipas angin yang sedang menyala.
Hampir saja saya memarahinya ketika selesai mandi berteriak "Bunda! Bunda! " Karena biasanya masalah yang membuat dia teriak adalah seputar kecoa dan semut hitam. Saat dia memperlihatkan jarinya yang terluka, sama seperti bunda-bunda kebanyakan hampir saya menjerit ketakutan, kalau saja saya tidak melihat wajahnya yang tegar, kaget Mas Abi tidak menangis. Padahal sebelumnya kalau kulit tergores duri sedikit saja dia bisa menangis berjam-jam dan langsung berbaring di kasur.
Langsung saya raih tangannya dan membawanya ke wastafel saya kucurkan air membersihkan jarinya yang terluka cukup besar.
Dan sekali lagi dia menahan rasa perihnya, hanya berkata "sakit bun". Rasanya airmata ini sudah mengembang, tinggal menunggu mengalir saja, namun tetap saya berdo'a jangan sampai Mas Abi melihat saya menangis.
Bukan karena melihat dia terluka, saya hampir menangis. Ketegarannya kali ini membuat saya menyadari, dia telah mulai memahami bahwa
rasa sakit bukan untuk ditangisi, sebuah titik balik dalam fase kehidupan. Dan sudah semakin dekat saat harus melepasnya belajar ke dunia luas.
Masih teringat saat mengenalkannya pertama kali pada dunia luar, saat itu di depan rumah. Dan dia tersenyum lucu saat saya berkata "Nak, lihat di atas sana ada daun hijau yang bergoyang tertiup angin, ada langit yang biru dihiasi awan putih." "Iqro bismirabbikalladzii khalaq" Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.
Saturday, September 5, 2015
Tuesday, September 1, 2015
Teknologi Pasca Panen
Ketika harga komoditas turun, adalah tantangan para pemilik teknologi untuk meningkatkan daya jual.
Produk-produk mudah busuk atau "perishable food" saat panen raya pasti harganya murah. Karena memang, mereka hanya tahan beberapa hari atau bahkan berapa jam saja.
Perlunya transfer pengetahuan teknologi pasca panen dari pemilik teknologi ke petani mungkin merupakan salah satu solusi terbaik. Jadi ketika panen raya tidak terjadi hal-hal yang mubazir.
Yuk yang punya ilmu pengawetan pasca panen seperti pendinginan, pembekuan, pengalengan, pengeringan dan lain-lain di sharing jangan cuma disimpan dalam hati. Kalau memang berniat untuk membantu, mari bantu sampai ke akar tidak hanya di permukaan saja.
Tidak mudah memang, butuh waktu, tenaga, pikiran dan juga hati yang kuat, karena yang akan di rubah adalah "mindset"
Akan sulit mengubah kebiasaan membeli makanan yang sudah diawetkan dibandingkan makanan segar, namun bukankah sudah berhasil dilakukan pada berbagai komoditas di berbagai daerah seperti Malang dengan keripik apelnya, Lampung dengan keripik pisangnya, Cirebon dengan terasi udangnya bahkan waktu di Jepang sana saya makan manisan tomat yang katanya dari Indonesia. Dan saya yakin harganya tidak murah.
Akan sulit mengubah kebiasaan membeli makanan yang sudah diawetkan dibandingkan makanan segar, namun bukankah sudah berhasil dilakukan pada berbagai komoditas di berbagai daerah seperti Malang dengan keripik apelnya, Lampung dengan keripik pisangnya, Cirebon dengan terasi udangnya bahkan waktu di Jepang sana saya makan manisan tomat yang katanya dari Indonesia. Dan saya yakin harganya tidak murah.
Saya juga sudah banyak menemukan buah kalengan, jamur kalengan, jagung kalengan apalagi ikan dan daging yang diolah dengan teknologi pengalengan di supermarket di sekitar. Bahkan gudeg jogja pun ada versi kalengannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)