Akhirnya setelah sarapan seadanya, Kami berlima (tanpa Mamah Enin, Tante Happy dan bayi Deva ) memulai petualangan yang ternyata seru. Aku hanya menyiapkan botol air mineral 600ml dan 1 bungkus biskuit di dalam tas. Berjaga-jaga kalau ada krucil yang rewel di perjalanan. Nggak disangka-sangka teteh Dea membawa boneka beruangnya dalam perjalanan kami. Hahaa... katanya biar ikutan main di air terjun.
Kami menyusuri jalan setapak di pinggir hutan, awalnya nggak terlalu berat karena jalan mendatar. Paling hanya duo krucil (kenzie dan yeska ) yang protes karena sandalnya kotor. Aku dan Abi memang berangkat menggunakan sepatu, khawatir licin kalau pakai sandal. Dan ternyata Benar. Mulai memasuki areal hutan lebih dalam lagi teteh dea sudah mulai melepas sandalnya. Karena rawan terpeleset. Sementara duo krucil aman karena satu tanggung jawab Om Etu dan satu lagi aku yang mengawasi. Jalan yang kami lalui hanya cukup untuk satu orang, samping kiri tebing samping kanan tanaman-tanaman yang ada di hutan. Tidak henti-hentinya aku meneriakkan agar anak-anak berjalan merapat ke arah sebelah kanan. Kadang ada dahan menghalangi jalur kami, yang hanya bisa kami lewati dengan menundukkan badan atau melompatinya.
Semakin lama jalan semakin menanjak, dan sempat bertemu anak sekolah yang sedang berlatih. Dari situ kami tahu curug yang kami tuju airnya kering. Kalau mau melihat air terjun harus lebih ke atas lagi dan melalui tebing berbatu yang katanya penuh lumut dan sulit di daki. Tapi karena anak-anak sangat bersemangat, kami tetap meneruskan perjalanan dengan perlahan. Dan benar saja, tempat yang kami tuju kering tidak ada air.
Karena ragu melanjutkan, mengingat kami membawa 1 balita dan preschool kami memutuskan beristirahat. Serombongan pecinta alam dri SMU di Jakarta melewati kami dengan yell-yell yang membakar semangat. Mas Abi senang sekali mendengar yell-yellnya sampai hafal. Begini kira-kira bunyi liriknya
Kalau jadi pendaki bawa carrier di pundak
Kalau jadi pemulung bawa karung di pundak
Pendaki dan pemulung sama-sama nggak mandi
Pendaki dan pemulung sama-sama berdaki
Sebenarnya Kami dua orang dewasa memutuskan kembali, dan nggak melanjutkan. Tapi melihat Mas Abi yang sudah pasang muka cemberut, akhirnya Om Etu mencoba ke atas dan mengecek kesulitan pendakian selanjutnya. Selama menunggu itulah kami bertemu dengan rombongan 2 pasang suami istri yang sepasang membawa 2 balita. Dan salah satu anaknya di gendong menggunakan carrier dipunggungnya. Mereka memang sudah berniat mendaki. Dan kami semua memutuskan menunggu om Etu kembali. Dan berdasarkan analisa, pendakian nggak mungkin dilanjutkan. Namun 2 Abege kamu sudah mulai cemberut, karena 2 keluarga yang kami temui bersepakat melanjutkan, akhirnya kami memutuskan untuk aku saja dan 2 abege yang melanjutkan. Sementara Om Etu dan 2 krucil kembali ke perkemahan. Toh bersama kami ada keluarga pecinta alam yang kelihatan sudah berpengalaman. Tapi ternyata, Alyeska ingin ikut bunda. Kalau Yeska memang sifat solidaritasnya tinggi, pergi sama-sama ya harus pulang sama-sama.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan yang bikin deg-degan. Melewati batu-batu yang penuh dengan lumut, beresiko. Dalam hati berdoa terus. Dan sepanjang perjalanan itu, kamera langsung masuk ke dalam kantong. Buatku jalur ini berbahaya. Kalau mau jujur, aku benar-benar takut, tapi Mas Abi dan Teteh Dea sudah di depan dan mereka semangat sekali.
Setelah berkutat dengan tebing yang lumayan wow, kami akhirnya sampai di curug dan ternyata airnya imut lucu hihi.... Tapi sampai di sana airnya sudah nggak bening lagi karena dipakai para pemula pecinta alam untuk push-up di situ. Walaupun senang, tapi tetap aja pikiran terbayang-bayang bagaimana caranya untuk turun ke perkemahan lagi. Sampai-sampai om Etu kasih saran, nanti dalam perjalanan turun anak-anak belakangan yaa? minimal kalau jatuh di bawahnya ada yang jaga. Yaa ampuun, padahal mungkin rasa takut jatuhku melebihi mereka semua. Tapi jadi tahu, tipsnya. Jadi kalau posisi mendaki anak-anak dituntunnya di depan kita.
Perjalanan menuruni tebing eh bukit.... alhamdulillah ternyata nggak jauh dari curug ada jalur lain, jalur setapak di dalam hutan pinus. Hilang sudah kekhawatiran nggak bisa turun dari tebing batu. Jalurnya pun nggak terlalu sulit di tempuh, tidak licin karena jalannya penuh dengan daun-daun pinus yang berguguran di permukaan tanah. Seperti saat berangkat tadi, Teteh Dea dan Mas Abi kembali berada di depan karena jalurnya mudah, kami memang terpisah beberapa jauh. Nggak terlalu khawatir, karena di depan kami ada beberapa anak-anak penjaga warung yang memang tinggal di daerah sini. Perjalanan menembus hutan yang fantastik, karena diiringi celotehan aneka pertanyaan Yeska dan Kenzie. Pertanyaan apa dan mengapa mewarnai perjalanan kami. Oh iya, sempat menemukan ada daun yang bagian tengahnya berwarna hijau dan pinggirannya berwarna biru. memang kalau di hutan, vegetasinya pasti lain daripada yang lain. Lewat dari setengah perjalanan, Yeska mulai mengantuk, dan akhirnya digendong om Etu, jadilah aku dan Kenzie tertinggal paling belakang. Dan pertanyaan Kenzie di dalam hutan adalah, "Bun, itu apa putih-putih di dekat daun?" Saat aku melihat ke arah yang di tunjuknya aku nggak melihat apa-apa, akhirnya aku cuma bisa bilang "Itu awan Kenzie, karena memang aku hanya melihat awan putih di sela-sela daun. "Bukan awan Bun, itu yang dekat daun." Katanya lagi. "Oh, bunda nggak lihat zie jawabku lagi, ayo jalan lagi aja, kita sudah tertinggal jauh dari yang lain. Akhirnya Kenzie lupa dengan pertanyaannya.
Beberapa lama berjalan, akhirnya pepohonan di hutan mulai jarang dan sudah terlihat terang dan saat keluar dari jalan setapak baru sadar ada sesuatu yang berbunyi di perut. Ternyata saat pikiran terkonsentrasi pada jalur yang kita lalui rasa laparnya nggak terasa. Sampai di tenda, alhamdulillah aneka makanan sudah tersedia untuk makan siang. Dan, rasanya nikmaat....walaupun menikmatinya dengan kondisi badan yang kotor, penuh lumpur dan tanah.
Setelah makan dan bersih-bersih badan, pakaian dan sebagainya kami mulai membongkar tenda dan packing-packing. Sambil menunggu adzan Dzuhur kami duduk-duduk di warung sambil minum segelas kopi hitam, lumayan menyegarkan karena aku berniat menyetir mobil dalam perjalanan pulang. Penasaran juga, menyetir di jalan berbatu di tengah hutan. Dan alhamdulillah, meski sedikit diwarnai insiden kecil, saat berpapasan dengan mobil lain di jalan sempit. Alhamdulillah kami pulang dengan selamat di tengah derasnya hujan kota Bogor dan sekitarnya.
Setelah berkutat dengan tebing yang lumayan wow, kami akhirnya sampai di curug dan ternyata airnya imut lucu hihi.... Tapi sampai di sana airnya sudah nggak bening lagi karena dipakai para pemula pecinta alam untuk push-up di situ. Walaupun senang, tapi tetap aja pikiran terbayang-bayang bagaimana caranya untuk turun ke perkemahan lagi. Sampai-sampai om Etu kasih saran, nanti dalam perjalanan turun anak-anak belakangan yaa? minimal kalau jatuh di bawahnya ada yang jaga. Yaa ampuun, padahal mungkin rasa takut jatuhku melebihi mereka semua. Tapi jadi tahu, tipsnya. Jadi kalau posisi mendaki anak-anak dituntunnya di depan kita.
Perjalanan menuruni tebing eh bukit.... alhamdulillah ternyata nggak jauh dari curug ada jalur lain, jalur setapak di dalam hutan pinus. Hilang sudah kekhawatiran nggak bisa turun dari tebing batu. Jalurnya pun nggak terlalu sulit di tempuh, tidak licin karena jalannya penuh dengan daun-daun pinus yang berguguran di permukaan tanah. Seperti saat berangkat tadi, Teteh Dea dan Mas Abi kembali berada di depan karena jalurnya mudah, kami memang terpisah beberapa jauh. Nggak terlalu khawatir, karena di depan kami ada beberapa anak-anak penjaga warung yang memang tinggal di daerah sini. Perjalanan menembus hutan yang fantastik, karena diiringi celotehan aneka pertanyaan Yeska dan Kenzie. Pertanyaan apa dan mengapa mewarnai perjalanan kami. Oh iya, sempat menemukan ada daun yang bagian tengahnya berwarna hijau dan pinggirannya berwarna biru. memang kalau di hutan, vegetasinya pasti lain daripada yang lain. Lewat dari setengah perjalanan, Yeska mulai mengantuk, dan akhirnya digendong om Etu, jadilah aku dan Kenzie tertinggal paling belakang. Dan pertanyaan Kenzie di dalam hutan adalah, "Bun, itu apa putih-putih di dekat daun?" Saat aku melihat ke arah yang di tunjuknya aku nggak melihat apa-apa, akhirnya aku cuma bisa bilang "Itu awan Kenzie, karena memang aku hanya melihat awan putih di sela-sela daun. "Bukan awan Bun, itu yang dekat daun." Katanya lagi. "Oh, bunda nggak lihat zie jawabku lagi, ayo jalan lagi aja, kita sudah tertinggal jauh dari yang lain. Akhirnya Kenzie lupa dengan pertanyaannya.
Beberapa lama berjalan, akhirnya pepohonan di hutan mulai jarang dan sudah terlihat terang dan saat keluar dari jalan setapak baru sadar ada sesuatu yang berbunyi di perut. Ternyata saat pikiran terkonsentrasi pada jalur yang kita lalui rasa laparnya nggak terasa. Sampai di tenda, alhamdulillah aneka makanan sudah tersedia untuk makan siang. Dan, rasanya nikmaat....walaupun menikmatinya dengan kondisi badan yang kotor, penuh lumpur dan tanah.
Setelah makan dan bersih-bersih badan, pakaian dan sebagainya kami mulai membongkar tenda dan packing-packing. Sambil menunggu adzan Dzuhur kami duduk-duduk di warung sambil minum segelas kopi hitam, lumayan menyegarkan karena aku berniat menyetir mobil dalam perjalanan pulang. Penasaran juga, menyetir di jalan berbatu di tengah hutan. Dan alhamdulillah, meski sedikit diwarnai insiden kecil, saat berpapasan dengan mobil lain di jalan sempit. Alhamdulillah kami pulang dengan selamat di tengah derasnya hujan kota Bogor dan sekitarnya.